A. Pengertian
Kebijakan Kependudukan
Kebijakan Kependudukan adalah kebijakan yang ditujukan untuk
mempengaruhi besar, komposisi, distribusi dan tingkat perkembangan penduduk.
sedangkan DR. Elibu Bergman (Harvard university) Mendefinisikan kebijakan
penduduk sebagai tindakan-tindakan pemerintah untuk mencapai suatu tujuan
dimana didalamnya termasuk pengaruh dan karakteristik penduduk. Secara
umum kebijakan penduduk harus ditujukan untuk:
1.Melindungi
kepentingan dan mengembangkan kesejahteraan penduduk itu sendiri terutama
generasi yang akan datang.
2. Memberikan kemungkinan bagi
tiap-tiap orang untuk memperoleh kebebasan yang lebih besar, guna menentukan
apa yang terbaik bagi kesejahteraan diri, keluarga dan anaknya.
3. Kebijakan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup
penduduk itu sendiri. Pemecahan masalah kependudukan dengan pengendalian
kelahiran saja tidak menjamin bahwa hasilnya secara otomatis akan meningkatkan
kualitas hidup penduduk yang bersangkutan atau generasi yang akan datang.
Pada tahun 1965 PBB mempunyai kebijakan kependudukan
yang jelas dan menjadi dasar bagi tindakan-tindakan yang nyata, walaupun badan
yang bernama “The Population Commission” dengan resmi sudah dapat disahkan pada
tanggal 3 oktober 1946.
B. Menyoal Kebijakan Kependudukan di
Indonesia
AKTIVIS
Sita Aripurnami menggunakan kutipan Zillah Eisenstein, The Color of Gender (1994) ini pada baris pertama tesis berjudul
Reproductive Rights Between Control
and Resistence: A Reflection on the Discourse of Population Policy in Indonesia,
yang diajukan untuk mendapatkan Master of Science pada The Gender Institute,
London School of Economics (LSE) London, Inggris. Sungguh kutipan yang tepat
untuk menganalisis politik reduksionis dalam kebijakan kependudukan di
Indonesia, yakni bagaimana kebijakan kependudukan direduksi menjadi kebijakan
keluarga berencana; kebijakan berencana direduksi menjadi kebijakan
kontrasepsi; kebijakan kontrasepsi direduksi lagi menjadi hanya kontrasepsi
bagi perempuan. Dari 20 jenis kontrasepsi yang beredar, 90 persen di
antaranya ditujukan untuk perempuan.
Bank Dunia pernah menyebut Indonesia sebagai
"salah satu transisi demografis paling mengesankan di negara sedang
berkembang". Pada masa itu tingkat fertilitas turun dari 5,5 menjadi tiga
per kelahiran, sementara tingkat kelahiran kasar turun dari 43 menjadi 28 per
1.000 kelahiran hidup. Tahun 1970, pertumbuhan penduduk turun dari sekitar 3,5
persen menjadi 2,7 persen dan turun lagi menjadi 1,6 persen pada tahun 1991.
Banyak negara berkembang kemudian belajar implementasi program KB di Indonesia.
Tetapi, hampir bisa dipastikan, dalam "transfer pengetahuan" itu
tidak disebut metode yang membuat program itu sukses; yakni koersi (pemaksaan
dengan ancaman) terhadap perempuan, khususnya dari kelompok masyarakat kelas
bawah, terutama saat awal program diperkenalkan.
DI bawah panji-panji Norma Keluarga Kecil Bahagia
Sejahtera (NKKBS), program pengendalian penduduk (baca: KB dengan alat
kontrasepsi) dilancarkan. Seperti halnya di negara berkembang lain awal tahun
1970-an, pemerintah Orde Baru meyakini KB sebagai strategi ampuh mengejar
ketertinggalan pembangunan. Ajaran Malthusian mengasumsikan, dengan jumlah
penduduk terkendali rakyat lebih makmur dan sejahtera. Untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi-yang merupakan pereduksian makna "pembangunan"-tinggi guna
mencapai kemakmuran, di antara syaratnya adalah "zero growth"
di bidang kependudukan. Hubungan antara pengendalian jumlah penduduk dan
pembangunan ekonomi menjadi semacam kebenaran, sehingga tidak lagi memerlukan
pembuktian. Dalam Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Cairo,
Mesir, 1994, lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengungkapkan, kebijakan
kependudukan yang reduksionis ini dikonstruksi sistematis melalui lembaga
internasional. Pertumbuhan penduduk menjadi prakondisi bantuan pembangunan.
Di Indonesia, seperti pernah dikemukakan aktivis
kesehatan reproduksi Ninuk Widyantoro, para petugas medis hanya diajari cara
memasang susuk (nama lain dari Norplant), tetapi tidak cara mengeluarkannya.
Pendarahan dan efek samping lain pemasangan kontrasepsi di tubuh perempuan
sering dianggap tidak soal. Secara ironis pula, perencanaan program sebagian
besar dilakukan laki-laki. Angka keberhasilan KB dijadikan salah satu komponen
keberhasilan pembangunan, sehingga cara apa saja digunakan untuk mencapai
"angka keberhasilan" itu. Manusia, khususnya perempuan, telah berubah
maknanya menjadi hanya angka dan target. Caranya, tak jarang menggunakan
pemaksaan dan ancaman aparat. Penelitian Sita Aripurnami dan Wardah Hafidz awal
tahun 1990-an memperlihatkan, hal itu terjadi pada pemasangan IUD di desa-desa.
Rezim Orde Baru, seperti halnya rezim pembangunanisme di mana pun,
memperlakukan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peledakan jumlah
penduduk. Dengan demikian, mereka harus dikontrol ketat. Sosiolog Ariel
Heryanto pernah menyatakan, program KB telah membuat alat reproduksi perempuan
seperti milik sah negara yang bisa digunakan para birokrat korup untuk
mendapatkan utang. Pelajaran masa lalu ini amat berharga, karena
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia salah satunya disebabkan
persoalan KB. Ke depan, kebijakan kependudukan harus dikembalikan pada
hakikatnya semula dengan menempatkan kesehatan reproduksi perempuan sebagai
landasan. Itu berarti, perempuan mempunyai hak mengontrol tubuhnya untuk
bebas dari paksaan, kekerasan,serta diskriminasi pihak mana pun. Akses pada
pelayanan kesehatan reproduksi harus dibuka untuk siapa pun. Proses demokrasi
harus dimulai dari persoalan ini.
Usaha memecahkan kepadatan penduduk
karena tidak meratanya penyebaran penduduk, seperti terdapat di JAMBAL (Jawa,
Madura,dan Bali) adalah dengan memindahkan penduduk tersebut dari pulau Jawa,
Madura, dan Bali ke pulau-pulau lain. Usaha ini di Indonesia dikenal dengan
nama “Transmigrasi” dan telah ditempatkan pada prioritas yang tinggi. Disamping
migrasi, masalah lainnya perlu dipecahkan adalah perpindahan penduduk dari
daerah pedesaan ke daerah perkotaan, yang dikenal dengan nama “Urbanisasi”. Menurut
hasil sensus 1980, 18,8% dari jumlah penduduk Indonesia bermukim di daerah
kota. Setengah abad yang lalu jumlah penduduk kota di Indonesia telah
berkembang lebih cepat daripada perkembangan penduduk Indonesia. Hampir
sepertiga dari pertambahan penduduk Indonesia dalam dekade terakhir ditampung
oleh daerah perkotaan. Masalah yang timbul adalah belum siapnya kota-kota
tersebut untuk menampung pendaftar baru yang melampaui kemampuan daya tampung
kota-kota tadi.
Secara garis besarnya tujuan
kebijakan kependudukan, adalah sebagai berikut: memelihara keseimbangan antara
pertambahan dan penyebaran penduduk dengan perkembangan pembangunan sosial
ekonomi, sehingga tingkat hidup yang layak dapat diberikan kepada penduduk
secara menyeluruh. Usaha yang demikian mencakup seluruh kebijakan baik di
bidang ekonomi, sosial, kulturil, serta kegiatan-kegiatan lain untuk
meningkatkan pendapatan nasional, pembagian pendapatan yang adil, kesempatan
kerja dan pembangunan pendidikan secara menyeluruh. Strategi yang digunakan adalah
jangka panjang maupun jangka pendek.
Di Indonesia tujuan jangka panjang
diusahakan dapat dijangkau dengan:
1.
Peningkatan volume transmigrasi ke daerah-daerah yang memerlukannya.
2.
Menghambat pertumbuhan kota-kota besar yang menjurus kea rah
satu-satunya kota besar di suatu pulau tertentu dan mengutamakan pembangunan
pedesaan.
Tujuan jangka pendek diarahkan
kepada penurunan secara berarti pada tingkat fertilitas, peningkatan volume
transmigrasi setiap tahunnya dan perencanaan serta pelaksanaan urbanisasi yang
mantap.
Program-program kebijakan yang disusun untuk mencapai tujuan
tersebut adalah:
1. Meningkatkan program keluarga
berencana sehingga dapat melembaga dalam masyarakat. Termasuk semua program
pendukung bagi keberhasilannya seperti peningkatan mutu pendidikan, peningkatan
umur menikah pertama, peningkatan status wanita.
2. Meningkatkan dan menyebarluaskan
program pendidikan kependudukan.
3. Merangsang terciptanya keluarga
kecil, bahagia dan sejahtera.
4. Meningkatkan program transmigrasi
secara teratur dan nyata.
5. Mengatur perpindahan penduduk dari
desa ke kota secara lebih komprehensif di dalam perencanaan pembangunan secara
menyeluruh.
6. Mengatasi masalah tenaga kerja.
7. Meningkatkan pembinaan dan
pengamanan lingkungan hidup.
Hambatan-hambatan yang ada dalam
usaha memecahkan masalah kepadatan penduduk.
Penduduk di hampir semua negara berkembang termasuk
Indonesia selama berabad-abad hidupnya telah dipengaruhi oleh nilai, norma dan
adat istiadat yang bersifat positif terhadap sikap dan tingkah laku yang
menginginkan anak banyak. Struktur kehidupan politik, ekonomi, sosial dan
budaya (agama) telah memantapkan kehidupan pribadi. Untuk dapat merubah sikap
dan tingkah laku tersebut menjadi sikap dan tingkah laku untuk menyenangi dan
menginginkan anak sedikit diperlukan program pendidikan dan program-program
pemberian motivasi lainnya.
Kebijaksanaan kependudukan secara menyeluruh harus memperhitungkan
hambatan-hambatan dari segi politis, ekonomis, sosial, budaya, agama juga dari
segi psikologis perorangan dan masyarakat yang di negara-negara berkembang
masih cenderung mendukung diterimanya banyak anak. Program-program “beyond
family planning” harus lebih diintensifkan dan diekstensifkan. Di samping usaha
peningkatan produksi dalam segala bidang kebutuhan hidup penduduk (pangan,
sandang, rumah, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), perlu ditingkatkan usaha
yang berhubungan dengan:
1.
Pelaksanaan wajib belajar dan perbaikan mutu pendidikan.
2.
Perluasan kesempatan kerja.
3.
Perbaikan status wanita dan perluasan kesempatan kerja bagi mereka.
4.
Penurunan kematian bayi dan anak-anak.
5.
Perbaikan kesempatan urbanisasi.
6.
Perbaikan jaminan sosial dan jaminan hari tua.
C. SITUASI KEPENDUDUKAN DAN
KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN DI INDONESIA
Saat
ini jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 yang
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah sebanyak 237,6 juta jiwa. Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan
sensus sejak tahun 1961 sampai dengan 2000 terus meningkat walaupun jumlah peningkatannya menurun dari 23,72 pada periode
tahun 1971-1980 menjadi 21,62% pada periode tahun 1980-1990. Adapun pada
periode tahun 2000-2010 meningkat menjadi 15,17%. Dilihat dari distibusi
penduduk, persebaran penduduk di Indonesia tidak merata karena 57,5 persen penduduk terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sedangkan, kualitas sumber
daya manusia masih rendah. Hal ini terlihat dari penduduk Indonesia usia 5
tahun didominasi oleh penduduk yang tamat SD/MI/sederajat sebesar 30,55 persen.
Hasil
Sensus Penduduk 2010 juga menunjukkan bahwa sebanyak 66.1 persen penduduk
Indonesia yang berasal dari kelompok umur kerja (penduduk umur 15-64 tahun).
Sedangkan, penduduk Indonesia berasal berasal dari kelompok umur muda (penduduk
umur 0-14 tahun) hanya sebanyak 28.9% dan kelompok umur tua (penduduk umur 65
tahun atau lebih) sebanyak 5%. Kondisi seperti ini, dimana jumlah penduduk kelompok umur kerja hampir dua kali lipat
penduduk kelompok umur muda (bonus demografi), akan membuka the window of
opportunity yang dapat dimanfaatkan
oleh pemerintah untuk mensejahterakan penduduknya (Adioetomo : 2005). Namun,
perlu diingat bahwa the window opportunity tersebut hanya akan terjadi apabila
asumsi penurunan tingkat fertilitas sebesar 1,86 per wanita dan mortalitas bayi
sebesar 18,9 per 1.000 kelahiran pada tahun 2030 dapat tercapai (Adioetomo :
2005). Untuk itu, kebijakan kependudukan dalam hal ini upaya pengendalian
pertumbuhan penduduk menjadi sangat penting.
Upaya
pengendalian pertumbuhan penduduk dapat ditempuh utamanya melalui pengaturan
fertilitas, mortalitas, dan pengarahan mobilitas penduduk (UU No. 52 Tahun
2009). Pengaturan fertilitas dilakukan melalui Program Keluarga Berencana (KB).
KB dilaksanakan untuk membantu calon atau pasangan suami istri dalam mengambil
keputusan tentang usia ideal perkawinan, usia ideal untuk melahirkan, jumlah
ideal anak, jarak ideal kelahiran anak, dan penyuluhan kesehatan reproduksi.
Pengaturan mortalitas diprioritaskan pada penurunan angka kematian ibu hamil,
penurunan angka kematian ibu melahirkan, penurunan angka kematian pasca melahirkan,
serta penurunan angka kematian bayi dan anak. Sedangkan, pengarahan mobilitas
penduduk bertujuan untuk mecapai persebaran penduduk yang optimal, didasarkan
pada keseimbangan antara jumlah penduduk dengan daya dukung alam dan
lingkungan. Akan tetapi, upaya pengedalian pertumbuhan penduduk mengalami
stagnansi pada periode tahun 2000-2010 (BPK : 2012). Hal ini disebabkan karena
sehubungan dengan penerapan otonomi daerah, pemerintah pusat belum menetapkan
kebijakan kelembagaan yang jelas dan tegas terkait penyerahan program, terutama
KB ke pemerintah daerah. Jika hal ini tidak segera diatasi, dikhawatirkan
Indonesia tidak dapat memanfaatkan kesempatan the window of opportunity yang
hanya terjadi sekali saja untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar